Jumat, 22 Agustus 2014

SURAKARTA KOTA BUDAYA

Artikel ini disponsori oleh Alfamart.

Di Surakarta, yang lebih dikenal dengan nama Solo ini, lebih banyak budaya asli yaitu adat istiadat dan tutur kata daripada Yogyakarta. Intinya perilaku masyarakatnya lah yang menjadi pembeda. Saya tidak rasis atau apapun, tapi saya kira Yogyakarta lebih banyak terkontaminasi oleh kebudayaan dari luar Yogyakarta daripada Surakarta. Turis dan Mahasiswa lah penyebab utama akulturasi kebudayaan ini.

Mungkin berbudaya lebih tepatnya adalah bermasyarakat, tapi tidak dengan masyarakan Yogyakarta yang hanya ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya. Contoh saja papa kos saya yang pelitnya minta ampun, lampu kamar mandi saya dua duanya sudah hampir dua bulan mati tidak juga segera diganti. Tukang bensin eceran yang sama sekali gak senyum pada pelanggan, dan tukang nasi yang hanya JUALAN.

Di Surakarta atau di Solo juga punya rutinitas adat budaya yang baik, dari pagelaran seni budaya hingga upacara keagamaan yang disambut baik oleh seluruh masyarakat. Perekonomian yang sehat dengan beragam produk dari furnitur, kain, batik, dan cindra mata. Selain itu, musik keroncong juga sudah mendunia dan mulai dihormati. Ada pula wisata kuliner yang beragam dan bervariasi, dari gudek solo, nasi timlo, sate kere dan sate asu. Di Solo juga punya bengawan Solo yang populer, dan lintasan kreta api yang membelah kota Solo yang menjadi Ikon kota Solo. Mobil pertama dan stasiun radio serta perusahaan rekaman di Indonesia juga berasal dari Solo. Lagu Dangdut juga hampir setiap malam minggu di dendangkan di Taman Sriwedari walau anak muda yang kebanyakan pecinta Metal, dokter spesialis tulang yang terkenal se Indonesia. What else can I say, about this town?

Entah percampuran kebudayaan ini baik atau buruk, tentu harus membutuhkan bukti panjang dan penjelasan yang lebar, silahkan cari di blog tetangga, atau tunggu saja artikel saya selanjutnya...

Namun bagaimana ke dua kota ini bersikap sudah dapat tentu dapat diambil maknanya. Kota Surakarta jam 10 sudah sepi, sedangkan di Yogyakarta jam 10 masih tetap riuh dengan para penghuni malam. Sangat bertentangan dengan jam malam ala adat jawa yang begitu ketat.

Mungkin di Yogyakarta lebih banyak pagelaran seni yang digelar, tapi agar kamu tahu, budaya jawa bukan hanya berkutat pada seputar tari dan lukisan pewayangan, bukan hanya upacara atau resepsi, tapi lebih kepada jiwa yang jawa.

Berbudaya adalah yang masih memegang teguh adat tradisional tradisional yang baik dan bermanfaat

Lalu menurut kamu, kota mana yang pantas menyandang Kota Budaya? Kasih tau gue yah lewat kolom komentar :-)